Electric Shopping Pulsa All Operator

Pulsa Center adalah distributor penjualan pulsa isi ulang/voucher elektrik All Operator GSM & CDMA dengan sistem pengisian pulsa melalui teknologi sms ataupun chat via yahoo! Messenger. Kami menawarkan peluang bisnis sebagai Agen atau Dealer penjualan pulsa untuk seluruh wilayah Indonesia. Siapa pun Anda, dimana pun Anda berada, Anda bisa bergabung bersama kami menjadi agen atau dealer pulsa. ...Read more...

internet marketing

Tuesday, May 11, 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah yang baik (Good Governance) merupakan fenomena perubahan cara pandang dalam menjalankan roda pemerintahan. Orientasi yang sentralistik kekuasaan bergeser kearah desentralisasi yang mengutamakan otonomi dan pemberdayaan masyarakat Iokal. Pergeseran ini didukung dengan tuntutan demokratisasi yang berkembang dewasa ini. Model good Governance merupakan sebuah jawa6an untuk mengelola urusan- urusan publik yang semakin kompleks.

Untuk menyelenggarakan Good Governance, mensyaratkan beberapa hal : Pertama, penyelenggaraan pemerintah yang baik mensyaratkan agar pemerintah itu harus efektif dalam memerintah. Karena jika pemerintah dan tidak efektif, kekuasaan pemerintah akan pincang dan menjadi alat kepentingan kelompok tertentu. Kedua, Pemerintah harus tunduk dan patuh pada aturan. Setiap penyelenggara pemerintah harus menjadi contoh yang baik dalam mematuhi hukum. Aturan yang jelas yang menjadi pegangan bersama dalam penyelenggaraan pemerintahan serta kehidupan yang menjamin kepentingan bersama; Ketiga, pemerintah berdiri tegak menjadi penengah dan penjaga aturan hukum yang ada demi menjamin kepentingan bersama seluruh rakyat. Sesuai dengan prinsip keadilan legal, pemerintah dituntut untuk bertindak secara netral dengan memperlakukan semua orang dan kelompok secara sama dihadapan hukum berdasarkan aturan perundang – undangan yang berlaku; Keempat, adanya perangkat kelembagaan demokrasi yang berfungsi secara maksimal dan efektif (Keraf, 2002).
Desentralisasi dan otonomi harus dipahami dalam rangka membangun demokrasi khususnya dan penyelenggaraan pemerintah yang baik. Dalam arti desentralisasi harus dipahami sebagai upaya untuk membangun kekuatan masyarakat dan kekuatan politik dalam masyarakat, baik itu didalam maupun luar birokrasi pemerintah.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang - undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka terjadi perubahan dalam tata pemerintahan yakni pemberian kesempatan pemerintah kabupaten/kota untuk menyelenggarakan pemerintahan dengan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab secara profesional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip - prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan memperhatikan potensi, keanekaragaman daerah dan kearifan lokal.
Pelaksanaan otonomi daerah secara tidak langsung akan memaksa daerah untuk melakukan perubahan - perubahan, baik perubahan struktur maupun perubahan proses birokrasi dan kultur birokrasi. Otonomi daerah harus diikuti oleh serangkaian reformasi disektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tidak hanya sekedar perubahan format kelembagaan, akan tetapi mencakup pembaharuan alat–alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga–lembaga publik secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga good Governance benar - benar tercapai (Mardiasmo, 2004).
Berdasarkan hal tersebut maka konsekuensi dengan diberlakukannya otonomi daerah yakni pemerintah kabupaten/kota tak terkecuali Kabupaten Enrekang harus mampu mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan, menentukan arah kebijakan pembangunan serta kemandirian dalam hal pembiayaan program-program pembangunan. Oleh karena itu pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Kabupaten Enrekang merupakan daerah yang sedang berkembang mempunyai potensi untuk dilakukan pengembangan dalam menggali sumber-sumber perekonomian daerah terutama menggali sumber-sumber pendapatan asli daerah. Dan untuk melihat sejauh mana keberhasilan program yang telah dilaksanakan dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi yang tergambar dari besarnya nilai Produk domestik Bruto (PDRB).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hasil Penelitian Sebelumnya
Berbagai penelitian tentang retribusi pasar telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti Santoso (1995) meneliti tentang Retribusi Pasar di Kabupaten Sleman, menyimpulkan bahwa realisasi penerimaan retribusi pasar sangat dipengaruhi oleh omzet penjualan. Semakin besar omzet penjualan para pedagang semakin berpeluang untuk melakukan pembayaran retribusi pasar. Realisasi penerimaan retribusi pasar masih potensial untuk ditingkatkan, namun ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian yaitu : Pertama, struktur tarif retribusi perlu dievaluasi agar besarnya dapat mencerminkan struktur biaya yang sebenarnya. Besarnya tarif yang telah ditetapkan belum merefleksikan struktur biaya jasa pengadaan fasilitas pasar; kedua, bila retribusi dikenakan terhadap setiap pedagang pasar sebagai balas jasa kepada pemerintah yang telah menyediakan fasilitas perdagangan, maka dengan adanya kenaikan retribusi pasar, perlu diadakan perbaikan dan penambahan fasilitas di pasar; ketiga, pemungutan retribusi pasar terhadap pedagang perlu dibedakan menurut skala usaha.
Polipoke, (2002) yang menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi pasar dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah, hasil penelitiannya menunjukan bahwa variabel PDRB tidak berpengaruh signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar secara partial, sedangkan variabel jumlah penduduk serta variabel jumlah lods dan kios berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan retribusi pasar.
Rauf (2006) dalam penelitiannya tentang "Analisis Kontribusi Retribusi Pasar terhadap pendapatan Ash Daerah dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya di Kabupaten Sidrap" menyimpulkan bahwa kontribusi retribusi pasar terhadap pendapatan Asli daerah mencapai rata-rata 17,15 persen selama sebelas tahun (1995-2005). Adapun faktor pendapatan masyarakat per kapita, prasarana pasar dan insentif petugas secara bersama-sama dapat menjelaskan variasi nilai penerimaan retribusi pasar di Kabupaten Sidendreng Rappang dengan uji simultan sebesar 99,6%.
Yasir (2007), melakukan penelitian dengan judul beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan retribusi pasar di Kabupaten Mamuju menyimpulkan bahwa besarnya potensi penerimaan retribusi pasar yang diperoleh di Kabupaten Mamuju periode 1994-2004 rata-rata sebesar Rp.871.860.482,5 sedangkan target penerimaan retribusi pasar rata-rata selama periode yang sama sebesar Rp. 718.684.476,4 sangat berpengaruh terhadap realisasi penerimaan retribusi pasar. Sedangkan pengaruh sarana pasar mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap realisasi penerimaan retribusi pasar. Dan pengaruh PDRB dan jumlah penduduk mempunyai hubungan positif namun tidak signifikan terhadap realisasi penerimaan retribusi pasar.
Penelitian-penelitian yang telah disebutkan diatas, apabila dibandingkan dengan penelitian ini mempunyai beberapa kesamaan antara lain permasalahan yang akan dibahas mengenai retribusi pasar. Perbedaan penelitian sebelumnya antara lain terletak pada lokasi/daerah penelitian, data yang digunakan serta periode waktu analisis.

B. Beberapa Catatan tentang Retribusi dan Pendapatan Asli Daerah
Karena keterbatasan dana dari pusat bagi pembangunan daerah maka diperlukan strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setiap daerah. Strategi pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber keuangan daerah bagi peningkatan pendapatan asli daerah adalah; pertama, Strategi yang berkaitan dengan manajemen pajak/retribusi daerah; kedua, strategi ekstensifikasi sumber penerimaan daerah; ketiga, strategi dalam rangka peningkatan efisiensi institusi.
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendapatan asli daerah terdiri dad; hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Selanjutnya Mardiasmo dan Makhfatih (2000) telah menguraikan bahwa:
"Potensi penerimaan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Untuk melihat potensi sumber penerimaan daerah dibutuhkan pengetahuan tentang perkembangan beberapa variabel-variabel yang dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel ekonomi), dan yang tidak dapat dikendalikan (yaitu variabel-variabel ekonomi) yang dapat mempengaruhi kekuatan sumber-sumber penerimaan daerah".


Widayat (1994) menguraikan beberapa cara untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui peningkatan penerimaan semua sumber Pendapatan Asli Daerah agar mendekati atau bahkan sama dengan penerimaan potensialnya. Selanjutnya dikatakan bahwa secara umum ada dua cara untuk mengupayakan peningkatan Pendapatan Asli Daerah sehingga maksimal yaitu dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi. Lebih lanjut diuraikan bahwa salah satu wujud nyata dari kegiatan intensifikasi ini untuk retribusi yaitu menghitung potensi seakurat mungkin, maka target penerimaan bisa mendekati potensinya. Cara ekstensifikasi dilakukan dengan mengadakan penggalian sumber-sumber objek retribusi atau pajak ataupun dengan menjaring wajib pajak baru.
Sedangkan menurut Yani (2002) Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jadi berdasarkan hal tersebut maka pendapatan asli daerah merupakan pendapatan daerah yang bersumber dad hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang dipungut berdasarkan peraturan daerah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali sumber - sumber pendanaan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi.
B.1 Retribusi Daerah
Salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang cukup mempunyai andil dalam pendapatan daerah yaitu retribusi daerah. Untuk memperoleh gambaran pengertian tentang retribusi daerah terlebih dahulu perlu diketahui pengertian retribusi itu sendiri. Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian.
Menurut Munawir (1997) Retribusi merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan di sini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah dia tidak akan dikenakan iuran itu.
Lebih lanjut Yani (2002) bahwa retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Sedang pengertian retribusi menurut K.J. Davey, dinyatakan bahwa retribusi dibayar langsung oleh yang mereka yang menikmati suatu pelayanan dan biayanya dimaksudkan untuk menutup seluruh atau sebagian biaya dad biaya pelayanannya . Josep Riwo Kaho (1991) menjelaskan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau karena jasa yang diberikan oleh daerah.
Dan selanjutnya Siahaan (2005) retribusi daerah adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah yang secara langsung dan nyata kepada pembayar contohnya retribusi parkir, retribusi kebersihan, retribusi jasa pelabuhan dan lain-lain.
Sementara di dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai penyempurnaan Undang - undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak dan retribusi daerah dikemukakan bahwa yang dimaksud retribusi adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Dari berbagai pengertian retribusi tersebut diatas, maka dapat dirumuskan ciri-ciri pokok retribusi daerah sebagai berikut : a). Retribusi dipungut oleh daerah; b). Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan dan langsung dapat ditunjuk; c). Retribusi dikenakan bagi siapa saja yang menggunakan jasa yang disediakan daerah;
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Selanjutnya Undang-undang nomor 34 tahun 2004 pasal 18 ayat 2 objek retribusi dikelompokkan dalam 3 golongan yaitu: Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Perizinan. Sedang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi didasarkan pada : 1). Untuk ret(busi jasa umum, ditetapkan berdasarkan kegiatan daerah untuk mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat dan aspek keadilan. 2). Untuk retribusi jasa usaha, ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. 3). Untuk retribusi perizinan tertentu, ditetapkan berdasarkan tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyelenggaraan izin tertentu.
Kristiadi (1995) mengemukakan beberapa hal yang sangat penting dalam pungutan retribusi daerah yaitu 1) Adanya pelayanan secara langsung diberikan sebagai imbalan dari pungutan yang dikenakan, 2) Adanya kebebasan dalam memilih pelayanan, 3) Harga pelayanan atau ongkos pelayanan tidak melebihi pungutan yang dikenakan untuk pelayanan yang diberikan.
Lain halnya dengan pajak yang tidak berhubungan dengan memanfaatkan fasilitas daerah, retribusi mempunyai hubungan langsung dengan kontraprestasi yang diberikan daerah karena pembayaran tersebut memang secara khusus dimaksudkan untuk mendapatkan suatu prestasi dari daerah yang dinikmati secara perorangan atau badan.
Davey (1988) menyatakan bahwa dasar dan pengenaan tarif retribusi adalah cost recovery. Kebijaksanaan mengenai besarnya retribusi dapat dilakukan dengan full cost atau kurang dan full cost yang melibatkan kontribusi tertentu atau dibebankan kepada penerimaan umum secara berturut-turut. Apa yang dikemukakan tersebut, muncul beberapa masalah seperti: 1) Dalam menentukan jenis pengeluaran berhubungan secara langsung dengan biaya yang dikeluarkan untuk suatu pelayanan, 2) Bagaimana menghasilkan biaya yang dikeluarkan apakah besarnya dapat disesuaikan dengan pengeluaran yang sebenarnya dari suatu unit pelayanan tertentu atau didasarkan pada rata-rata pelayanan, 3) Dalam memperhatikan besarnya biaya, apakah biaya modal akan dimasukkan dan jika dimasukkan apa dasarnya, sebab biaya modal dipengaruhi oleh penerimaan umum dan atau pinjaman yang sepenuhnya telah disalurkan. Oleh karena itu biasanya yang dibebankan kepada konsumen adalah biaya pemeliharaan dan biaya pengoperasian.
Ketiga masalah tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pengenaan retribusi dengan menggunakan variasi-variasi tertentu dalam pengenaan retribusi.
Devas (1989) menyebutkan bahwa kebijaksanaan memungut bayaran untuk barang dan layanan yang disediakan pemerintah berpangkal pada pengertian efisiensi ekonomi. Dalam hal ini perorangan bebas menentukan besar layanan yang hendak dinikmati, harga layanan itu memainkan peranan penting dalam menjatah permintaan, mengurangi penghamburan dan memberikan isyarat yang perlu kepada pemasok mengenai besar produksi layanan tersebut. Selain itu penerimaan dari pungutan adalah sumber daya untuk menaikkan produksi sesuai dengan keadaan permintaan, karena itu harga harus disesuaikan sehingga penawaran dan permintaan akan barang dan layanan semacam ini besar konsumsinya menurut keadaan harga.
Oleh karena itu pengenaan retribusi didasarkan pada peraturan-peraturan yang berlaku umum, pelaksanaan pemungutannya bersifat ekonomis, artinya pihak - pihak yang bersangkutan bebas untuk membayar atau tidak, akan tetapi bila tidak membayar maka tidak akan mendapatkan fasilitas yang diinginkan dari negara atau daerah.
Evaluasi tentang retribusi sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah dapat dilihat dalam tiga segi yaitu : 1) Kecukupan dan elestisitasnya; retribusi pada dasarnya memiliki sifat yang kurang elastis terhadap perubahan perekonomian secara makro. Hal ini disebabkan karena hampir semua penetapan retribusi hanya didasarkan pada tarif per unit, pelayanan yang besarnya relatif tetap. Jadi perubahan tarif retribusi tidak dapat dilakukan secara otomatis sesuai dengan tinggi rendahnya laju inflasi, perkembangan perekonomian dan penduduk, 2) Keadilan; retribusi dalam penetapan tarif, biasanya cenderung bersifat regresif karena retribusi dikenakan pada unit pelayanan yang dikonsumsi masyarakat, 3) Ditinjau dad segi administrasi, secara teoritis retribusi relatif sederhana dan mudah dipungut dengan biaya yang relatif rendah. Kemudian dalam pemungutan retribusi didasarkan oleh tingkat konsumsi yang muda diukur, sehingga pemakai hanya membayar apa yang telah dikonsumsi. Salah satu kelemahan retribusi adalah sulitnya menentukan target yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena penerimaan retribusi pasar sangat tergantung pada jumlah jasa yang dikonsumsi masyarakat.
Dalam hubungan dengan penerimaan retribusi, menurut Prawiro (1990), terdapat empat penentu atau kunci sukses yang bila kita tidak menangani secara sungguh-sungguh dan baik akan berbalik menjadi faktor yang menyebabkan kegagalan. Faktor-faktor tersebut antara lain : 1) Sistem yang baik, yaitu menyangkut perangkat Undang-undang dan Peraturan maupun aparat pelaksanaannya, 2) Sistem penunjang, misalnya sistem pembukuan, pencatatan akuntansi dan profesionalisme, 3) Faktor ekstern berupa faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik, 4) Masyarakat khususnya wajib pajak, termasuk didalamnya adalah sistem informasi dalam arti yang seluas luasnya tingkat kesadaran dan kepatuhan
B.2 Peranan Retribusi Pasar
Pasar dalam pengertian sehari - hari yang kita kenal sebagai tempat jual beli barang-barang kehidupan sehari-hari. Ada pula yang mengartikan sebagai tempat terjadinya transaksi antara pembeli dan penjual, namun pengertian pasar disini adalah pengertian pasar secara umum.
Widarta (2001), mengemukakan bahwa pasar adalah : 1) Kelompok orang dan atau organisasi yang diidentifikasi oleh kebutuhan bersama dan dimana terdapat sumber-sumber daya guna memuaskan kebutuhan tersebut, 2) Tempat para pembeli dan penjual berkumpul untuk melaksanakan jual beli, 3) Memasarkan barang-barang atau jasa tertentu, melaksanakan perniagaan, membeli dan menjual keuntungan berupa uang.
Pandangan lain mengenai pasar disampaikan oleh Bustaman (1991), yaitu:
"Bahwa pasar adalah suatu perantara yang mengatur komunikasi dan interaksi antara penjual dan pembeli yang bertujuan untuk mengadakan transaksi pertukaran benda, asal ekonomi dan uang, dan tempat hasil transaksi dan disampaikan pada waktu itu atau pada waktu yang akan datang berdasarkan harga yang telah disepakati ".

Dalam teori ekonomi dikemukakan bahwa pasar adalah tempat pertemuan antara permintaan dan penawaran. Penawaran adalah jumlah barang yang ditawarkan oleh penjual/produsen ke pasar pada setiap tingkat harga, sedangkan permintaan adalah jumlah permintaan pasar.
Samuelson (1988) mengemukakan bahwa pasar adalah proses yang digunakan oleh pembeli dan penjual untuk berhubungan dalam menentukan harga dan jumlah.
Jadi dari pengertian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pasar adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli atau produsen dan konsumen, baik secara langsung maupun perantara (makelar). Disatu pihak produsen menjual barangnya dan dipihak lain konsumen membeli barangnya.
Dalam konteks dengan penelitian, pasar adalah sarana/prasarana untuk memungut retribusi daerah serta penerimaan lain yang merupakan pemasukan bagi suatu daerah. Dalam upaya inilah suatu pasar harus memiliki fasilitas-fasilitas utama seperti lods, dan tempat penjualan, kios, serta pelataran penjualan. Selain fasilitas utama tersebut suatu unit pasar dapat juga didukung oleh fasilitas penunjang seperti pelataran parkir dan MCK yang dapat dipungut bayaran karena pemanfaatan sarana tersebut.
Retribusi pasar merupakan salah satu jenis retribusi daerah yang potensial untuk dikembangkan dalam rangka menunjang pendapatan asli daerah. Pengelolaan retribusi pasar harus dilakukan dengan baik dan profesional agar dapat memberikan kontribusi bagi pendapat asli daerah dengan memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna layanan pasar.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Enrekang nomor 4 Tahun 2000 tentang retribusi pasar, di jelaskan bahwa untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah, pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah , khususnya retribusi daerah dan lebih spesifik retribusi pasar pengaturannya perlu lebih ditingkatkan, karena apabila retribusi pasar meningkat akan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah.
Sejalan dengan makin meningkatnya pelaksanaan pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat serta perkembangan perekonomian maka perlu penyediaan sumber - sumber pendapatan asli daerah khususnya retribusi pasar. Upaya peningkatan penyediaan pelayanan maka perlu dilakukan penyederhanaan dan penyempurnaan serta peningkatan kinerja pemungutannya sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemungutan retribusi pasar, mengurangi biaya ekonomi tinggi, serta peningkatan mutu pelayanan kepada masyarakat sehingga wajib retribusi pasar dapat dengan mudah memahami dan memenuhi kewajibannya dalam membayar retribusi pasar.
Ada kecenderungan bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerahnya dengan berusaha menciptakan sumber pendapatan yang baru tanpa dibarengi dengan perubahan dan perbaikan pelayanan kepada masyarakat hal ini dapat menimbulkan keresahan di masyarakat karena penciptaan pendapatan asli daerah yang baru kemungkinan dapat membebani masyarakat dengan bertambahnya pungutan.
Berdasarkan hal tersebut, maka peran retribusi pasar haruslah berorientasi pada pelayanan yang baik dalam memuaskan pengguna fasilitas pasar, baik dad segi aksesbilitas penjual dan pembeli, diperlukan penataan pasar yang memadai dan ditunjang oleh tingkat keamanan dan kenyamanan untuk menjual maupun untuk berbelanja. Petugas pengelolah pasar merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat kepuasan pengguna fasilitas pasar. Apabila kepuasan pengguna pasar terpenuhi maka akan timbul kesadaran masyarakat untuk membayar retribusi pasar sehingga pada akhirnya retribusi pasar akan meningkat.
C. Pendapatan Per Kapita
Sadono Sukirno (1991) menjelaskan, "Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai tingkat pertambahan dan pendapatan perkapita. Pertumbuhan ekonomi mempunyai dua segi pengertian yang berbeda, yaitu istilah pertumbuhan ekonomi digunakan untuk menggambarkan bahwa perekonomian pada suatu daerah telah mengalami perkembangan ekonomi. Dan istilah untuk menggambarkan tentang masalah ekonomi yang dihadapi dalam jangka panjang. Perekonomian pada suatu daerah mengalami pertumbuhan apabila jumlah balas jasa riil terhadap pengguna faktor - faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar dari tahun sebelumnya.
Sebagai tolok ukur kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerahnya adalah kemampuan dalam menggali, menghimpun sumber - sumber pendapatan asli daerah guna mendukung pembiayaan pembangunan sarana dan prasarana serta sumber daya manusianya, dalam hal ini prasarana pasar dan aparatur pengelolah pasar tersebut, sehingga pergerakan ekonomi di sektor perdagangan dan sektor lainnya



DAFTAR PUSTAKA

Abdul, H. 2002. Akuntansi Sektor Publik (Akuntansi Keuangan Daerah). Salemba Empat, Jakarta.

Arikunto,S. 2002.Prosedur penelitian. Edisi Revisi V, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Assauri, Sofyan. 2002. Manajemen Pemasaran Dasar, Konsep dan Strategi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 2008. Kabupaten Enrekang Dalam Angka.BPS Kab. Enrekang, Enrekang.

Bustaman, Zuraima, Dkk. 1991. Peranan Pasar pada Masyarakat Pedesaan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.

Brotodihardjo, R.D. 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. PT. Eresco, Bandung Davey, K.j. 1988. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Devas Nick, dkk, 1989. Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Due, F. Jhon. 1984.Goverment Finance. MC Graw-Hill, New York.

Kaho, Riwo,Y 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Keraf, A. Sony, 2002. Etika Lingkungan. Kompas Media Utama. Jakarta.

Kristiadi, J.B. 1995. Masalah - masalah sekitar Peningkatan Pendapatan Daerah. Prisma, Jakarta.

Kunarjo, K.J, 1998. Pembiayaan Pemerintahan. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Mahi, Raksaka. 2000. Prospek Desentralisasi di Indonesia di tinjau dari segi Pemerataan Antar Daerah dan Peningkatan Efrsiensi. Centre For Strategic And International Studies, Jakarta.


Machfud, 1992. Pajak dan Retribusi Daerah. Balai Pustaka, Jakarta

Mardiasmo dan A. Mahfatih, 2000. Laporan Akhir Penelitian Perhitungan Potensi Pajak dan Retribusi Daerah di Kabupaten Magelang. Pusat Antar Universitas Study Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Moenir, HAS. 2000. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Bumi Aksara, Jakarta.

Mulia, 1987. Bunga Rampai Keuangan Daerah. Famita Raya, Jakarta.

Musgrave, R.A, and Musgrave, P.B. 1989. Publik Finance in Theory and Practice. Fith Edition. Mc. Graw Hill International Edition, Singapure.

Nawawi, H. 1988. Manajemen Sumber Daya Manusia : Untuk Bisnis dan Yang Kompetitif. cetakan pertama.Gadja Mada Univercity Press, Jakarta.
Nuralam, 1997, Analisis Kebijakan Pengelolaan PAD dan Kontribusinya Terhadap APBD. Tesis PPs-Universitas Hasanuddin, Makassar.

Queen, Mc, Jim, 1998, "Development of a Model for Userfees a model on Policy Development in Creating and Maintaining User Fees for Municipolities", MPA Reseach Paper, Submitted to: The Local Government Program, Dept of Political Science, The Univ.Western Ontario, Aug. 1998,1-23.

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2004. Tentang Retribusi Pasar Kabupaten. Enrekang.

Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2008. Tentang Perubahan Retribusi Pasar Kabupaten Enrekang.

Program Pascasarajana Universitas Hasanuddin.2006. Pedoman Penulisan Tesis dan disertasi Edisi 4. Makassar.

Rachim AF, H Abd, 2003. Menyiasati dan Memikul Keuangan Daerah Kota Samarinda. Cetakan Pertama, Airlangga, Surabaya.

Rauf, A. 2006. Analisis Kontribusi Retribusi Pasar Terhadap Pendapatan Asli Daerah dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya di Kabupaten Sidenreng Rappang. Tesis S2 Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Riwu Kaho, Yosep, 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Rajawali Press, Jakarta.

Sadono Sukirno, 1999. Pengantar Teori Ekonomi Mikro. Edisi Kedua, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Samuelson, Paul, A. 1996. Ekonomi, Terjemahan oleh Jaka Wasanah, Airlangga, Jakarta

Santoso, B. 1995. Retribusi Pasar Sebagai Pendapatan Asli Daerah. Prisma Nomor 4. H1m 19-28.

Sidik M. 2002. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi daerah Dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah, Makalah.

Siahaan, M.P. 2005. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soeyadi, FX. 1999. Pokok - Pokok Manajemen Kepegawaian. PT. Garmedia Pustaka Umum. Jakarta.

Sugiarto, dkk. 2007. Ekonomi Mikro Sebuah Kajian Komprehensif. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sugiyono, 2004. Statistika Untuk Penelitian, CV. Alfabeta, Bandung.

Susuilo Martoyo, 1996. Sebuah Resep Dalam Upaya Untuk Meningkatkan PAD Dengan Pendekatan Metode Zapp. Dalam Lintasan Ekonomi, Unibra. Malang.

Undang - undang No. 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang - Undang No. 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Undang - undang No. 34 Tahun 2000. Tentang Perubahan Undang - undang No. 18 Tahun 9997. Tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Widarta, I. 2001. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Lapera Pustaka, Yogyakarta.
Yani, A. 2002. Hubungan Keuangan antara Pusat dan daerah di Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Yasir F, M. 2007. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Pasar di Kabupaten Mamuju. Tesis S2 Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.

3 comments:

Unknown said...

boleh tau judulnya?

Unknown said...

Kalo tidak salah tentang pendapat asli daerah, sorry saya lupa, soalnya udah lama sekali, arsipnya udah hilang dri komputer.....

Anonymous said...

nice info :)

Post a Comment

Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong, Malilu Sipakainge, Sipakatau Sipakalebbi.
Komentar sahabat-sahabat sangat membantu saya untuk lebih baik "TERIMA KASIH SEBELUMNYA"