Electric Shopping Pulsa All Operator

Pulsa Center adalah distributor penjualan pulsa isi ulang/voucher elektrik All Operator GSM & CDMA dengan sistem pengisian pulsa melalui teknologi sms ataupun chat via yahoo! Messenger. Kami menawarkan peluang bisnis sebagai Agen atau Dealer penjualan pulsa untuk seluruh wilayah Indonesia. Siapa pun Anda, dimana pun Anda berada, Anda bisa bergabung bersama kami menjadi agen atau dealer pulsa. ...Read more...

internet marketing

Tuesday, May 11, 2010

HUKUM KEUANGAN NEGARA PASCA 60 TAHUN INDONESIA MERDEKA

Masalah dan Prospeknya bagi Indonesia


Pengantar
Peranan hukum keuangan negara pada saat ini tengah diuji untuk memberikan pemahaman yang komprehensif-teoritis-praktis dalam proses pendewasaan sistem keuangan negara di Indonesia, khususnya dalam meneguhkan pengertian keuangan negara yang memihak pada konsepsi kemandirian badan hukum dan kebijakan otonomi daerah. Perubahan ketentuan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara tidak memberikan kepekaan pada realitas tuntutan kemandirian badan hukum dan otonomi daerah sebagai suatu bentuk hasrat politik (palitical will) yang diperlukan untuk menjalankan perubahan kebijakan keuangan negara yang berorientasi pada kemajuan dalam sistem keuangan negara.

Selama ini terdapat kecenderungan pemahaman yang kurang tepat terhadap hukum keuangan negara yang mengandung potensi mengurangi konsepsi berpikir atas manfaat dan hakikat keuangan negara. Hal ini khususnya ditujukan pada manfaat ilmu hukum keuangan negara dalam rangka menjaga konsistensi efektivitas tujuan pemeriksaan keuangan negara dan efisiensi pengawasan pembangunan secara keseluruhan guna mencegah kebocoran penggunaan uang negara.
Namun, selama 60 tahun Indonesia merdeka, hukum keuangan negara dalam tataran praktik di dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara mengalami kemunduran (set back). Hal demikian menunjukkan terjadinya gejala konservatisme dalam pembentukan peraturan perundang¬-undangan yang mengatur keuangan negara, yang dikhawatirkan akan membawa akibat goyahnya pondasi bangunan keuangan negara sebagai tiang penyangga penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan publik. Hal inilah yang menjadi tantangan berat bagi hukum keuangan negara untuk melakukan kritik terhadap konsepsi keuangan negara yang demikian.

Rekonstruksi Historis Hukum Keuangan Negara Berdasarkan UUD 1945
Pengaturan keuangan negara dalam Undang-undang Dasar 1945 (LTUD1945) yang sangat singkat dan diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 23 Bab VIII tentang "Hal Keuangan": menjadi titik awal (starting point) pengaturan hukum keuangan negara di Indonesia. Rumusannya yang sangat singkat tersebut dapat dipahami karena suasana kebatinan negara pada saat itu yang menginginkan segera terbentuknya Negara Republik Indonesia.
Akan tetapi, meskipun rumusannya sangat singkat dan suasana pembentukannya yang mendesak, tidak berarti pasal tersebut tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun historis. Apalagi para penyusun Undang-undang Dasar pada waktu itu, khususnya mengenai keuangan, benar-benar berdasarkan hati nurani demi kepentingan penyelenggaraan negara dan bangsa tanpa mempertimbangkan kepentingan politik tertentu.
Dalam Pasal 23 UUD 1945 (pra-perubahan), konsepsi keuangan negara memberikan pemahaman fisolofis yang tinggi terhadap kedudukan keuangan negara yang ditentukan APBN sebagai bentuk penjelmaan kedaulatan. Dengan kata lain, hakikat public revenue dan expenditure keuangan negara dalam APBN adalah kedaulatan. Filosofi tersebut sejalan dengan pandangan Rene Stourm yang menyatakan:
"The constitutional right witch a nation possesses to authorize public revenue and expenditures does not originates from the fact that the members of the nation contribute the payments This right is based on a loftier idea. The idea of sovereignty. "
Di dalam Pasa123 ayat (1) UUD 1945 ditetapkan sebagai berikut.
"Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan dap-dap tahun dengan Undang-Undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, pemerintah menjalankan anggaran tahun yang lalu "
Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 tersebut memiliki hak begrooting DPR, di mana dinyatakan dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Dengan demikian, secara filosofis-yuridis, ini tanda kedaulatan rakyat._
Dengan demikian, menurut konsepsi hukum keuangan negara, hakikat APBN adalah kedaulatan yang diberikan kepada DPR. Bukti bahwa pemegang kedaulatan adalah rakyat melalui DPR adalah pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk Undang-Undang. Berdasarkan konsepsi hukum, karena DPR memegang kedaulatan di bidang budget (hak begrooting), persetujuan dari DPR terhadap APBN yang diusulkan oleh pemerintah ini merupakan kuasa (machtiging).
Hal ini berarti titik berat tujuan anggaran negara adalah autorisatie" dari “volksvertegenwoordiging” kepada pemerintah untuk mengadakan pengeluaran atau pembiayaan sejumlah maksimal tertentu dari anggaran. Dengan menyatakan APBN merupakan machtiging berarti tentu harus ada tanggung jawab yang selayaknya diberikan kepada yang memberikan machriging. Dalam UUD 1945, macbtiging diberikan DPR kepada pemerintah untuk dilaksanakan. Oleh sebab itu, pemerintah dalam pelaksanaan APBN harus mempertanggungjawabkan kepada DPR.
Dalam hal pertanggungjawaban Keuangan Negara ini, dapat dilihat dari dua pandangan, yaitu:
a. Pertanggungjawaban keuangan negara horizontal, yaitu pertanggungjawaban pelaksanaan APBN yang diberikan pemerintah kepada DPR. Hal ini disebabkan sistem ketatanegaraan yang berdasarkan UUD 1945 telah menentukan kedudukan pemerintah dan DPR sederajat. Hal ini dilakukan dalam bentuk persetujuan terhadap RW Perhitungan Anggaran Negara.
b. pertanggungjawaban keuangan negara vertikal, yaitu pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh setiap otorisator atau ordonator dari setiap Departemen atau Lembaga Negara non-departemen yang menguasai bagian anggaran, termasuk di dalamnya pertanggungjawaban bendaharawan kepada atasannya dan pertanggungjawaban para pemimpin proyek. Pertanggungjawaban keuangan ini pada akhirnya disampaikan kepada Presiden yang diwakili oleh Menteri Keuangan selaku pejabat tertinggi pemegang tunggal keuangan negara sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 25 ICW 1925.
Berdasarkan konsepsi hukum keuangan negara, pertanggungjawaban keuangan negara merupakan konsekuensi logis dari kesediaan pemerintah melaksanakan APBN yang telah disetujui oleh DPR. Dalam tata pengelolaan keuangan negara atau APBN yang berlaku sampai dengan 2004 adalah ketentuan ICW5, dimana pertanggungjawaban keuangan negara dituangkan ke dalam Perhitungan Anggaran Negara atau Slot der Rekening. APBN sebagai machtiging dari DPR kepada pemerintah memberikan dasar yang kuat yang berhak menerima pertanggungjawaban keuangan negara adalah DPR. Secara teoretis, hal ini tidak bertentangan dengan sistem UUD 1945 (Pra-Perubahan) dimana kedaulatan sepenuhnya terletak pada MPR.
Sementara itu, pengaturan keuangan negara yang singkat dalam UUD 1945 membawa masalah yuridis terhadap definisi keuangan negara, sehingga membuka penafsiran yang berbeda-beda terhadap definisi tersebut. Namun, dalam kerangka teoretis hukum keuangan negara, berdasarkan penafsiran Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 yang dimaksud sebagai keuangan negara adalah yang ditetapkan dalam Undang-Undang APBN.
Dengan dasar penafsiran tersebut, menyimpulkan secara tegas maksud keuangan negara sebagai APBN, yang kemudian menjadi dasar pemeriksaan BPK dalam memeriksa keuangan negara. Hal ini berarti keuangan lain di luar APBN tidak dapat dikategorikan sebagai keuangan negara.
Secara konsepsional, sebenarnya definisi keuangan negara bersifat plastis dan tergantung pada sudut pandang. Sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN. Sementara itu, maksud keuangan negara di sudut pemerintah daerah, yang dimaksud dengan keuangan negara adalah APBD, demikian juga dengan badan usaha milik negara dalam bentuk perusahaan jawatan, perusahaan umum, dan perseroan terbatas. Dengan demikian, berdasarkan konsepsi hukum keuangan negara, definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, keuangan negara pada semua badan usaha milik negara: Akan tetapi, definisi keuangan negafa dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.

Imperfektivitas Hukum Keuangan Negara Pasca-Perubahan UUD 1945
Perubahan materi muatan Pasa123 UUD 1945 yang ditetapkan oleh MPR dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan keuangan negara apabila mendasarkan pada kerangka konsepsi hukum keuangan negara. Materi Muatan dalam Perubahan Pasal 23 UUD 1945 sangat tidak memenuhi kadar ilmiah dari segi substansinya dan cenderung mengabaikan ' segi filosofis, yuridis, dan sosiologis materi muatan suatu undang-undang dasar, serta tidak memahami nilai historis yang terkandung di dalamnya. Sebagai suatu contoh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan APBN sebagai perwujudan dad pengelolaan keuangan Negara ditetapkan dap-tiap tahun dengan undang¬-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran, rakyat" hanya merupakan kalimat retorik yang tidak memenuhi segi filosofi anggaran. Hai ini disebabkan APBN bukan sekadar ‘perwujudan pengelolaan keuangan negara', tetapi merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tercermin pada hak budget DPR.
Imperpektivitas atau ketidaksempurnaan hukum keuangan negara Pasca¬ Perubahan UUD 1945 telah mengesampingkan esensi kemandirian badan hukum dan otonomi daerah. Hal ini disebabkan semua keuangan dalam APBD dan BUMN serta BUMD disebut sebagai keuangan Negara. Padahal sangat jelas dan nyata dari sudut sistem maupun ketentuan peraturan perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut berbeda dengan APBN sebagai keuangan negara.
Dengan demikian, secara tegas dari segi yuridis, dari kedudukan dan fungsinya sangat berbeda antara keuangan Negara, keuangan Daerah maupun keuangan BUMN dan BUMD. Pembedaan ini pun mempunyai implikasi konsekuensi yuridis terhadap ruang lingkup, dan kewenangan lembaga dan badan yang melakukan manajemen pengawasan dan pemeriksaan keuangan terhadapnya. Tentu tidak semua lembaga pemeriksa atau pengawas dalam lingkungan pemerintah pusat atau pemerintah daerah maupun yang berada di luar pemerintah, mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan maupun pengawasan terhadap masing-masing keuangan badan hukum tersebut. Demikian pula antara status badan hukum publik dan badan hukum privat yang berbeda pengelola keuangannya akan sangat berpengaruh, sebagai contoh keuangan Persero sebagai badan hukum privat, berbeda dengan keuangan pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai badan hukum publik.
Dengan demikian, jangkauan lembaga atau badan pemeriksa atau pengawasan keuangan publik bagi keuangan Negara berbeda dengan keuangan Daerah, mengingat kedudukan dan fungsinya berbeda. Oleh karena itu, kejelasan batas ini diperlukan mengingat dengan tidak membedakan antara badan atau lembaga pemeriksa dan pengawas dengan obyek yang diperiksa atau diawasi dapat menimbulkan selain tumpang tindih (overlapping), ruang lingkup pengawasan maupun pemeriksaan (span of control) yang terlalu luas dapat mengakibatkan tidak jarang ada unit yang merupakan obyek pemeriksaan atau pengawasan terhindar dari jangkauan pemeriksaan atau pengawasan.
Namun, kondisi demikian justru dikonkretkan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara sebagai undang-undang organik Pasal 23 UUD 1945 yang tidak memperhatikan kedudukan dan fungsi keuangan publik dari lembaga atau badan-badan hukum yang ada. Kondisi demikian terjadi karena Pasal 23 Perubahan ketiga UUD 1945 tidak memberikan definisi atau rambu-rambu yang secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, anehnya, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 malah merumuskan keuangan Negara secara keliru dan mengesampingkan esensi badan hukum dan otonomi daerah.
Imperfektivitas ketentuan hukum keuangan negara pasca-perubahan I3UD -1945 terjadi disebabkan produk peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara tidak mengandung landasan (a) filsafat yang merupakan latar belakang substansi pemikiran pembuat undang-undang tentang keuangan Negara, ia pun harus dirumuskan secara mendasarkan pada (b) ilmu pengetahuan (het dekken der kennis), rumusannya ditata secara (c) landasan pemikiran ekonomis (Ekonomische Denkgesetz), menghindari substansinya yang (d) diulang dan/atau saling bertentangan antara pasal satu dengan pasal yang lainnya (Wiederspriichlos), (e) cakupan rumusan substansi undang-undang harus bersifat menyeluruh (her dekken van de rechtsstot), serta harus mengandung (f) estetika bahasa (taal : aestetica), (g) Bermanfaat sesuai dengan tujuannya (doelmatig). Dengan demikian, peraturan perundang-undangan keuangan negara yang menjadi dasar hukum keuangan negara menghindar penggunaan prinsip tersebut dalam menyusun undang-undang, apalagi sebuah undang-undang dasar landasan filsafatnya adalah mutlak dan merupakan syarat utama, di samping syarat-syarat lain yang diperlukan untuk sebuah peraturan perundang-undangan.
Oleh sebab itu, perlu dikatakan secara tegas, materi UUD Pasal 23 UUD 1945 dan UU Nomor 17 Tahun 2003 merupakan produk hukum yang asal jadi dan materi muatannya sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai produk hukum atau undang-undang. Apalagi dari sudut ilmiah maupun filosofinya. Seharusnya, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 mengatur pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan publik yang lebih efektif dalam melaksanakan tertib administrasi keuangan dengan akuntabilitas yang tinggi. Demikian pula ketentuan Pasal 23 UUD 1945 (Perubahan Ketiga) perlu diadakan kaji ulang agar mempunyai bobot sebagai sebuah mated muatan dalam undang-undang dasar.
Secara teoretis DPR sebagai badan legislatif mempunyai dasar yang kuat dan sah menurut hukum untuk melakukan perubahan dalam UU Nomor 17 tahun 2003. Sementara itu, MPR mempunyai peran yang signifikan untuk kembali meninjau Pasal 23 Perubahan Ketiga UUD 1945. Dengan demikian, ketentuan dalam undang-undang dasar dan undang-undang dapat memenuhi ketentuan teori hukum yang berlaku.

Diskursus dalam Orientasi fungsi Pemeriksaan Keuangan Negara
Di samping persoalan definisi keuangan negara, hukum keuangan negara dalam hal pemeriksaannya juga mengalami disorientasi yang sangat pelik. UUD 1945 melegitimasi perubahan fungsi pemeriksaan BPK yang tidak hanya ditujukan pada tanggung jawab keuangan negara, tetapi juga pengelolaan keuangan negara. Perubahan demikian jelas menciptakan disorientasi fungsi BPK yang melebar ke segala arah dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara. Dari segi hukum keuangan publik, disorientasi fungsi pemeriksaan keuangan negara yang terlalu luas akan melemahkan rentang kendali (span of contoh, in modernisasi, penyalahgunaan kewenangan, dan ketidakmampuan dalam mencegah penyimpangan keuangan negara secara efektif. Disoerientasi pemeriksaan keuangan negara yang dilegitimasi UUD 1945 hanya akan mendorong ketidakberdayagunaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jawab keuangan negara karena berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara.
Dengan demikian, tepat penyusun naskah ash Pasa123 ayat (5) UUD 1945 yang menempatkan BPK sebagai lembaga yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara agar orientasi BPK tidak lepas dan pemeriksaan yang bersifat makro-strategis. Penyusun naskah asli UUD 1945 mempunyai pemahaman yang lebih strategis dan sangat memahami prinsip dasar efektivitas kinerja organisasi. Dengan fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK menempatkan secara sejajar kedudukannya sebagai lembaga negara. Sebagai lembaga negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK merupakan lembaga yang langsung mengawasi dan memeriksa kebijakan keuangan negara (fiscal policy audit) yang dilakukan pemerintah. Fungsinya yang sangat strategis dan terhormat tersebut menempatkan BPK sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, termasuk pemerintah; untuk menjaga obyektivitasnya.
Oleh sebab itu, secara yuridis pemberian fungsi pemeriksaan BPK untuk memeriksa pengelolaan keuangan negara melalui Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi negara, BPK telah berubah dari bentuk organisasi negara menjadi organisasi administrasi negara. Dengan demikian, kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan sebagai lembaga yang mandiri. Salah satu bukti perubahan bentuk tersebut adalah dimungkinkannya BPK di setiap provinsi.
Dari segi hukum administrasi negara, lembaga negara, guna menjaga citra kewibawaan dan pengaruhnya, tidak mungkin membuka perwakilannya di luar ibu kota negara. Hal ini dilakukan agar lembaga negara tetap berfungsi hanya pada inti pokok tugasnya sebagai bagian dari lingkup masalahnya (kernzaken en problemen) dan menjaga kualitas kinerja dibandingkan hanya mengejar kuantitas. Berdasarkan hukum keuangan publik, pengutamaan kuantitas dalam pemeriksaan menyebabkan temuan atas penyimpangan keuangan negara dilakukan secara kebetulan (by-chance) dan tidak secara sistematis (by-system).
Oleh sebab itu, kebertahanan BPK pada perubahan fungsinya sebagai pemeriksa tanggung jawab sekaligus pengelolaan keuangan negara dan kedudukannya yang "menurun" sebagai organisasi administrasi negara mengingatkan kembali pada keberadaan Algemene Rekenkamer (ARK), lembaga pemeriksa zaman kolonial Belanda, yang merupakan lembaga di bawah Kroon (Pemerintah Kerajaan Belanda). Dengan kedudukannya tersebut, ARK memeriksa pengelolaan keuangan pemerintah dan mempunyai perwakilan di setiap daerah. Oleh sebab itu, secara yuridis-historis, fungsi dan kedudukan BPK berdasarkan Pasa123E ayat (1) UUD 1945 memutar kembali fungsi dan kedudukannya seperti 350 tahun yang lalu.
Apabila kekeliruan tersebut hanya bersifat lokal, dampaknya tidak akan luas. Akan tetapi, apabila kekeliruan tersebut bersifat nasional, dampaknya tidak hanya berlaku secara lokal atau nasional, juga akan menyangkut secara internasional sepanjang yang berkaitan dengan negara. Terlepas dari adanya kesengajaan atau tidak oleh pembuat amandemen undang-undang dasar maupun ketiga paket undang-undang yang mengatur keuangan negara, perubahan undang¬-undang dasar maupun paket ketiga undang-undang tersebut terkesan mengarah pada suatu konsentrasi kekuasaan pemeriksaan, tanpa memperhitungkan koneksitas Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara maupun prinsip¬-prinsip umum hukum yang berlaku. Secara universal, konsentrasi tersebut akan mewujudkan konsentrasi kekuasaan pemeriksaan tanpa kendali (wilde groer), memperbesar celah yang berpeluang menciptakan power intent to corrupt.

Gagasan Pengawasan/Pemeriksaan yang Berjenjang
Dengan telaah yang telah diuraikan sebelumnya, sebenarnya memberikan deskripsi atas pelaksanaan pengawasan/pemeriksaan yang diterapkan di Indonesia belum berjalan sebagaimana diharapkan. Perubahan atas Pasal 23 ayat (5) UUD 1945 menjadi Pasal 23E, Pasal 23F, dan Pasal 23G sebagai dasar konstitusional dalam mekanisme pengawasan/ pemeriksaan keuangan negara cenderung menimbulkan ketidakseimbangan dalam arti konstelasi politis-yuridisnya. Harus disadari upaya optimalisasi pengawasan/pemeriksaan terhadap keuangan negara tidaklah bergantung pada luas-sempitnya objek pemeriksaan. Juga tidak didasarkan pada besar-kecilnya kewenangan yang dimiliki dalam mengawasi/memeriksa keuangan negara. Akan tetapi, semua dilandasi atas kemampuan struktural dan kultur sumber daya, orientasi kerja yang fokus, terencana, serta sistemik perilaku, pembinaan pengawas/pemeriksa dalam menjalankan fungsionalisasi tugasnya. Namun, hal yang terpenting pula ialah terjangkaunya objek pengawasan/pemeriksaan dengan cara melakukan penjenjangan dalam pelaksanaannya.
Gagasan pengawasan/pemeriksaan yang berjenjang Pada dasarnya tetap membutuhkan kemauan politik (political will) yang kuat dari semua pihak demi kepentingan negara dan bangsa secara bijaksana dan rela kehilangan sebagian dari objek pengawasan/pemeriksaannya dalam keuangan negara yang dijustifikasi melalui Pasa123E ayat (1) UUD 1945. Setelah hal itu dapat dilakukan, kebijakan pengawasan/pemeriksaannya berjenjang yang bertujuan untuk meningkatkan optimalisasi kemampuan lembaga pengawas/pemeriksa keuangan negara seluruhnya dapat dilaksanakan dengan baik dan menghindari duplikasi dan penyimpangan Pengawasan/pemeriksaan.
Gagasan pengawasan/pemeriksaan berjenjang merupakan bagian dari reformasi pengawasan/pemeriksaan keuangan negara yang menghilangkan segala bentuk inefisiensi dan inefektivitas dalam pelaksanaan pengawasan/pemeriksaan keuangan negara. Konsepsi ini dijalankan dengan mengawalinya melalui reposisi BPK-RI sebagai lembaga tinggi negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara. Reposisi ini secara konstitusional akan mendudukkan kembali BPK-RI sejajar dengan presiden. Hal ini disebabkan jika BPK-RI ikut memeriksa pengelolaan keuangan negara, secara yuridis-faktual posisinya menjadi bagian dari pemerintahan/presiden, yang melaksanakan administrasi negara.
Dengan kedudukannya sebagai lembaga (tinggi) negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara, BPK-RI melakukan pengawasan/pemeriksaan atas kebijakan strategis penggunaan uang negara yang terencanakan dalam APBN. Dengan strukturnya sebagai lembaga negara, posisi dan perilaku personalia pelaksanaannya akan berkedudukan sebagai pejabat negara yang mempunyai pengaruh kuat dalam melakukan pemeriksaan atas penggunaan dana APBN kiranya sebagai akibat kebijakan yang diambil pemerintah. Bandingkan jika strukturnya sebagai lembaga (tinggi) negara yang menempatkan dirinya untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di mana seharusnya asas inkomptibel atas lembaga yang menjalankan fungsi tersebut, tidak dapat dipungkiri kecenderungan posisi dan perilaku personalia pelaksanaannya akan berkedudukan seperti birokrat dan kemampuan menjalankan fungsi pengawasan/pemeriksaan akan cenderung tenggelam oleh kesibukan menjalankan fungsi pengadministrasian objek pengawasan/pemeriksaan.
Implikasi dan kuatnya perilaku birokrat dalam lembaga pengawasan/pemeriksaan keuangan negara adalah munculnya sikap paternalistik yang mendorong sikap memonopoli kewenangan memeriksa/mengawasi, kurang menyadari transparansi dalam pelaksanaan pengawasan/pemeriksaan, dan kurang tanggap atas perkembangan dan perubahan paradigma dalam pengawasan/pemeriksaan. Situasional demikian praktis menjauhkan tujuan utama BPK-RI dari segala tugas dan tujuannya yang memposisikan diri sebagai lembaga negara yang bersifat politis.
Dengan mereposisikan kembali BPK-RI sebagai lembaga tinggi negara yang memeriksa tanggung jawab keuangan negara, kewenangannya dalam menguji hasil pengawasan/pemeriksaan BPKP sebagai lembaga pengawasan/pemeriksaan internal pemerintah menjadi terbuka. Jangkauan kendali BPK-RI atas hasil pengawasan/pemeriksaan BPKP akan optimal karena kedudukan BPKP yang berada di pusat pemerintahan. Dengan demikian, kemungkinan terjadinya penyimpangan atas pelaporan pengawasan/pemeriksaan akan segera diatasi. Sementara itu, atas kemungkinan laporan hasil pengawasan/pemeriksaan yang dilakukan BPKP atas objek pemeriksaan dirasakan ada keganjilan (asymmetric information), BPK-RI dapat melakukan pemeriksaan langsung pada objek pemeriksaan yang menjadi bagian BPKP, mulai dari lembaga pemerintahan tingkat pusat atau Bawasda provinsi dan Bawasda kabupaten/kota.
Sementara itu, kedudukan BPKP sebagai institusi pengawasan/pemeriksaan internal pemerintah dalam struktur pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah kembali diposisikan untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara. BPKP melakukan objek pemeriksaan atas lembaga pemerintahan, baik yang berbentuk departemen, kementerian, maupun lembaga nondepartemen. BPKP dapat melakukan pemeriksaan secara langsung ke eselon I lembaga pemerintahan tersebut jika menemukan keganjilan (asymmetric information) atas laporan hasil yang disusun aparatur pengawas internal lembaga pemerintahan tersebut. Di samping itu, BPKP juga dapat melakukan tindakan yang sama jika laporan yang disusun Bawasda provinsi dan Bawasda kabupaten/kota menemukan keganjilan.
Selanjutnya, Bawasda provinsi melakukan pemeriksaan atas laporan hasil pemeriksa internal terhadap pemerintah daerah provinsi dan Bawasda kabupaten/kota terhadap pemerintah daerah kabupaten/kota. Sama halnya dengan lembaga pengawas lainnya, Bawasda provinsi dapat melakukan pengujian langsung atas laporan pengawasan Bawasda kabupaten/kota jika menemukan keganjilan (asymmetric information).
Pada dasarnya, kelebihan penerapan mekanisme pengawasan/ pemeriksaan berjenjang adalah:
1. Memperkecil Span of Control;
2. Menjadikan pengawasan/pemeriksaan lebih efektif dan efisien;
3. Mengurangi tumpang tindih pengawasan/pemeriksaan yang hanya membebani secara rutinitas birokrasi yang diperiksanya; .
4. Memperkecil luputnya obyek pengawasan/pemeriksaan;
5. Menciptakan sistem check and recheck pengawasan/pemeriksaan berdampak kehati-hatian pengawas/pemeriksa pada setiap strata dalam mempersiapkan hasil laporan lebih terjamin;
6. Menciptakan transparansi hasil/laporan pengawasan/pemeriksaan;
7. Meningkatkan responsibility dan accountability pengawas/pemeriksa;
8. Mempercepat akses informasi adanya penyimpangan pengawas/pemeriksa;
9. Memperkecil peluang KKN;
10. Mendeteksi korupsi lebih dini;
11. Menciptakan pengawasan/pemeriksaan yang lebih terfokus;
12. Sejalan dengan konsep otonomi daerah di mana pengawas/pemeriksa dapat dilakukan oleh aparat daerah, tetapi konsep uji ulang pemeriksaan tetap didelegasikan, apabila terdapat asymmetric information '
13. Siklus dan mekanisme pengawasan/pemeriksaan berjalan secara otomatis tanpa adanya hambatan/distorsi yang disebabkan perebutan lahan pemeriksaan maupun penolakan terhadap pemeriksaan;
14. Terbentuk integrated control system dalam suatu negara kesatuan.
Dengan melihat manfaat atas gagasan pengawasan/pemeriksaan berjenjang, sudah semestinya gagasan ini memperoleh tempat dalam pelaksanaannya di Indonesia. Situsional saat ini yang mendukung penegakan hukum atas penyimpangan keuangan negara sebenarnya dapat dilakukan dengan menerapkan konsep pengawasan/pemeriksaan keuangan negara yang berjenjang sebagaimana digagas dalam tulisan ini.
Refleksi 60 Tahun Hukum Keuangan Negara: Prospek bagi Indonesia Inc. Indonesia sebagai suatu negara kesatuan perlu kembali diletakkan kembali sebagai suatu badan hukum dengan manajemen kesatuan yang terintegrasi dan terdesentralisasi dalam wujud kewenangannya. Indonesia intercorporated yang sudah sejak lama digagas untuk menunjukkan kemajemukan diantara kesatuan bangsa harus menjadi arah utama untuk menumbuhkembangkan pemikiran hukum keuangan negara yang bermanfaat bagi kemajuan negara ini.

Refleksi 60 Tahun Hukum Keuangan Negara: Prospek bagi Indonesia Inc.
Indonesia sebagai suatu negara kesatuan perlu kembali diletakkan kembali sebagai suatu badan hukum dengan manajemen kesatuan yang terintegrasi dan terdesentralisasi dalam wujud kewenangannya. Indonesia intercorporated yang sudah sejak lama digagas untuk menunjukkan kemajemukan diantara kesatuan bangsa harus menjadi arah utama untuk menumbuhkembangkan pemikiran hukum keuangan negara yang bermanfaat bagi kemajuan negara ini.
Oleh sebab itu, perkembangan hukum keuangan negara jangan sampai ditujukan untuk kepentingan, kemanfaatan, dan keinginan jangka pendek dan keuntungan pihak elit tertentu dalam negara dan masyarakat. Hukum keuangan negara yang mewujudkan dirinya sebagai landasan konsep bagi prospek negara Indonesia sebagai Indonesia inc. Perpaduan antara kemajemukan dan kesatuan bangsa harus menjadi ciri logis yang mengatur keuangan negara, sehingga konsepsi otonomi daerah sebagai satu basis, kemandirian badan hukum sebagai satu basis, serta negara sebagai basis yang lain harus terformulasikan dengan baik dan mendukung kegiatan negara Indonesia Inc.
Oleh sebab itu, filosofis negara dan pemerintah yang diadakan tidak untuk dirinya sendiri harus menjadi pegangan dalam menciptakan hukum keuangan negara yang berpihak pada kepentingan bersama. Hanya satu yang tidak boleh pernah berubah dalam konteks hukum keuangan negara, yaitu kesatuan negara yang harus tetap terjalin. Akan tetapi, kesatuan negara akan sangat berarti selamanya jika negara menghormati dan memberikan tempat pada kemajemukan melalui pembentukan badan hukum publik seperti daerah dan badan hukum perdata seperti perseroan terbatas.
Oleh sebab itu, prospek hukum keuangan negara tidak akan pernah memudar jika semua pihak mengambil peran atas kesadaran di dalam negara terdapat elemen yang berwujud badan hukum. Semua pihak harus menyadari peranan ini demi untuk kepentingan negara dan tidak untuk menguntungkan salah satu pihak manapun. Sekali lagi negara dan pemerintah tidak diadakan untuk dirinya sendiri dan melayani dirinya sendiri, sehingga wujud hukum keuangan negara harus benar-benar diformulasikan sebagai wujud kedaulatan rakyat, di mana rakyat menentukan kepentingan dan tujuannya sendiri. Oleh sebab itu, prospek keuangan negara adalah prospek kepentingan rakyat untuk berdaulat atas hak yang dimilikinya bagi kemajuan bangsa dan negara.
Pada dasarnya hukum keuangan negara harus diletakkan pada konsep pertanggungjawaban penggunaan keuangan negara yang membawa implikasi yuridis yang cukup signifikan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sebenarnya, dalam konsep kedaulatan rakyat yang dirumuskan dalam UUD 1945, penggunaan keuangan negara yang diperoleh dengan persetujuan seluruh rakyat melalui wakilnya di DPR. Konsekuensinya pemerintah atau pihak manapun dalam penggunaan keuangan negara harus memperoleh persetujuan rakyat melalui DPR. Akibatnya, kedudukan DPR menjadi kuat dan memang dapat menjalankan kedaulatan rakyat secara efektif dalam hal anggaran negara, dengan cara memberlakukan anggaran negara tahun lalu jika DPR menolaknya. Realitas demikian, menunjukkan DPR harus meletakkan posisi pemberian persetujuannya terhadap penggunaan keuangan negara bagi kepentingan rakyat. Oleh sebab itu, kecenderungan pemanfaatan posisinya sebagai otorisator penggunaan keuangan negara bagi kepentingan anggota DPR sendiri, misalnya keinginan menaikkan gaji anggota DPR, perlu dikritisi dalam konteks kedaulatan rakyat.
Dengan dasar pemahaman tersebut, prospek hukum keuangan negara sangat bergantung pada pihak-pihak yang menjalankan keuangan negara. Kesadaran semua pihak untuk meletakkan hukum keuangan negara dalam konteks utama dalam mewujudkan konsep keuangan negara yang berpihak pada kedaulatan dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Apabila dikaitkan dengan ilmu ekonomi, khususnya ilmu ekonomi publik, adanya hukum keuangan publik akan menjustifikasi tiga fungsi, yaitu fungsi politik (otorisasi), fungsi pengawasan, dan fungsi mikro ekonomi. Ketiga fungsi tersebut pada dasarnya menguatkan struktur dan tujuan hukum keuangan negara
yang lazimnya menentukan kelangsungan pertumbuhan pembangunan suatu negara. Maksudnya melalui hukum keuangan negara, kebijakan negara dalam keuangan negara akan mendorong pada pembangunan, sehingga dapat diarahkan untuk mendukung adanya peningkatan (scale top).
Dalam prospek hukum keuangan negara bagi Indonesia Inc., proses penyusunan hukum keuangan negara harus diarahkan sebagai pedoman kebijakan yang sesuai dengan tujuan yang ingin dilaksanakan negara dan sesuai dengan alat-alat politik ekonomi yang ingin dipergunakan negara untuk mencapai tujuan nasional dan kepentingan rakyat:
Adapun landasan hukum keuangan negara harus mampu direfleksikan dalam konstitusi atau undang-undang dasarnya sesuai dengan konsepsi teori hukum. Apabila penyusunannya mengabaikan teori hukum dan mengutamakan kepentingan politik pihak tertentu, hukum keuangan negara hanya akan menjadi bagian dari kepentingan pihak tersebut, sehi.ngga hakikat kedaulatan rakyat tidak akan pernah terwujud dalam keuangan negara. Dengan kata lain, hukum keuangan negara pemberian dalam tataran peraturan perundang-undangan harus mengutamakan kepentingan rakyat atau harus sesuai dengan konsepsi mengenai negara dan pemerintahan dari bangsa itu sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh.


Kepustakaan

Alons, P. Het Beheer en de Yerantwoordmg van de Geldmiddelen van Nederlandsch-Indie. tanpa tahun.

Andrea, Fockema, Rechtsgeleerd Handwoordenboek: Groningen,1948.

Asser, C-Der Grinten C.L. Van Handleiding tot de Beoefewng van bet Nederlandsch Bugerlijk Recht. Jilid I. Zwolle, 1968.

Atmadja, Arifin P. Soeria. Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara: Tinjauan Yuridis. Jakarta: Gramedia, 1986.

. Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum. Depok: Badan Penerbit FHUI, 2005.

Bohtlingk, F.R. De Yerhouding Tussen Regering en Yolksvertegenwoordiging in Indonesie Sedert 1945 en in de Toekomst, Indonesie, Tweemaandehlks Tijdschrift. Tahun Ketujuh. 1953-1954.

Browne, Vincent J. The Control of the Public Budget, Public Affairs Press.

Buck, A.E. Public Budgeting, New York, 1929.

Burkhead, Jesse. Government Budgeting, London, 1969.

Eckstein, Otto. Public Finance, New Delhi, 1979.

Goedhart, C. Garis-garis Besar Ilmu Keuangan Negara., Diterjemahkan oleh Ratmoko. Jakarta, 1973.

Indonesia. Undang-undang Dasar 1945.

. Undang-undang tentang Keuangan Negara. UU No. 17 Tahun 2003.

Robert, Lee J.R. and Ronald W. Johnson. Public Budgeting System, cet. 2, Tokyo, 1977.

Pringgodigdo, A.K. Tiga Undang-Undang Dasar: Cet. 4. Jakarta: PT. Pembangunan, 1974.
Stourm, Rene, The Budget.

1Hal ini dikemukakan oleh Rene Stourm dalam bukunya The Budget, sebagaimana dikutip oleh Vincent J. Browne, The Control of .Public Budget, (Public Affairs Press), hal. 11.

2)A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang-Undang Dasar, cet., 4, (Jakarta: PT. Pembangunan,1974), hal. 79.

5Lihat Pasal 69 ICW 1925 s/d Pasa172 ICW 1925.

4 comments:

Blogger Tampan said...

materi disini cukup panjang dan pasti sangat membantu bagi teman-teman yang ingin mencari materi hukum keuangan negara. jika dirasa masih kurang, kunjungi saja:
http://everythingaboutvanrush88.blogspot.com
Pengertian Keuangan Negara dan Ruang Lingkup Hukum Keuangan Negara
saya punya artikel singkat mengenai keuangan negara

Unknown said...

terima kasih banyak,,
sangat bermanfaat dan membantu :)

Achmad78, S.H. said...

Terimakasih atas ulasannya yg membuka cakrawala pemikiran terhadap Hukum Keuangan Negara. Salam Welfare Statem

Achmad78, S.H. said...

Terimakasih atas ulasannya yg membuka cakrawala pemikiran terhadap Hukum Keuangan Negara. Salam Welfare State

Post a Comment

Mali Siparappe, Rebba Sipatokkong, Malilu Sipakainge, Sipakatau Sipakalebbi.
Komentar sahabat-sahabat sangat membantu saya untuk lebih baik "TERIMA KASIH SEBELUMNYA"